Hiruk Pikuk Transportasi Publik Jabodetabek

Muhammad Aziz Ali Mutia
7 min readApr 2, 2023

Kami Butuh Transportasi Publik Yang Cepat dan Efisien

Photo by Marcel Ardivan on Unsplash

Ketika hujan datang menerjang Ibukota di jam pulang kerja, maka sudah dipastikan google map berubah menjadi merah pekat, macet dimana-mana, sampai di rumah tepat waktu hanyalah impian. Jadi ingat cerita rekan kerja yang tinggal di Cububur pernah sampai rumah jam 11 malam padahal dari kantor jam 6 sore. Atau rekan kerja lain, yang harus menghabiskan waktu hingga 3 jam untuk mencapai rumahnya di Bekasi. Pun dengan saya pribadi yang pernah tinggal di Cileungsi, Kab. Bogor, setiap hari hampir menghabiskan waktu hingga 5 jam pulang pergi ke tempat kerja (hanya kuat sebulan, selanjutnya ngekos di dekat kantor).

Hampir 7 tahun tinggal di Jakarta, dan benar semakin hari Jakarta semakin macet saja. Entah itu kondisi terang, apalagi hujan.

Berdasarkan penelitian dari TomTom Traffic Index, kemacetan Jakarta berada di peringkat 29 dari 389 kota di dunia dengan waktu rata-rata perjalanan dalam 10 km adalah 22 menit 40 detik. Peringkat ini lebih buruk dibandingkan tahun 2021 yang berada di peringkat 46 kota termacet di dunia. Kemenhub juga menyampaikan bahwa total kerugian yang diakibatkan dari kemacetan Jakarta mencapai Rp 71,4 Triliun per tahun yang berasal dari pemborosan waktu dan BBM.

Seberapa banyak sih orang yang melakukan mobilisasi di Jabodetabek? Mari kita cek datanya.

Apabila kita cek Data Statistik Komuter Jabodetabek Tahun 2019 yang dikeluarkan BPS diperoleh angka total orang di Jabodetabek yang keluar kota setiap harinya mencapai 3.259.894 orang.

Presentase Komuter di Jabodetabek, sumber: BPS, 2019

Dari 3,26 juta orang yang melakukan komuter, 38% atau 1,26 juta orang merupakan komuter menuju Jakarta dari Bodetabek, 26% atau 834 ribu orang merupakan komuter antar kota di DKI Jakarta dan 36% atau 1,17 juta orang merupakan komuter keluar Jakarta dan komuter antar kota di Bodetabek.

Dari 1,26 juta orang yang melakukan perjalanan ke Jakarta, Kota Depok merupakan kota asal terbanyak komuter Jakarta yaitu 296.488 orang disusul Kota Bekasi 277.234 orang, Kota Tangerang 172.410 orang, Kota Tangerang Selatan 159.024 orang, Kab. Bogor 149.048 orang, Kab. Bekasi 113.701 orang, Kab. Tangerang 69.793 orang dan Kota Bogor 18.103 orang.

Kota Asal Komuter ke Jakarta, sumber data : BPS, 2019

Apabila dilihat dari tujuan komuter, Jakarta Selatan menjadi tujuan utama para komuter yaitu 474.637 orang, disusul Jakarta Pusat 269.397 orang, Jakarta Timur 242.065 orang, Jakarta Barat 167.012 orang dan Jakarta Utara 102.690 orang.

Kota Tujuan Komuter, sumber data : BPS, 2019

BPS juga mendetailkan bahwa 63% komuter di Jabodetabek menggunakan sepeda motor, ini berarti terdapat 2,06 juta orang di Jabodetabek yang melakukan pergerakan keluar dari kota tempat tinggalnya setiap hari menggunakan sepeda motor. Selain itu 9% atau 288 ribu orang setiap hari menggunakan mobil pribadi menuju lokasi kerjanya.

Jenis Transportasi Yang Digunakan Komuter di Jabodetabek, sumber: BPS, 2019

Sayangnya, hanya 20% transportasi publik yang digunakan oleh komuter di Jabodetabek. Commuter line hanya digunakan oleh 9% komuter atau 298 ribu orang yang berpindah kota setiap harinya. Bahkan Trans Jakarta hanya digunakan oleh 3% orang yang berpindah kota. Sisanya 8% penduduk menggunakan bus umum untuk keluar kota.

Pemerintah sebenarnya telah memprioritaskan angkutan umum sebagai moda transportasi utama di Jabodetabek. Melalui Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tagerang dan Bekasi Tahun 2018–2029 pemerintah menargetkan 60% pergerakan orang menggunakan angkutan umum perkotaan. Walau saat ini angka tersebut masih jauh dari kondisi eksisting yang hanya 20%. Di dalam Perpres tersebut, target waktu perjalanan orang rata-rata di dalam kendaraan angkutan umum perkotaan adalah 1 jam 30 menit pada jam puncak ke tempat asal ke tujuan. Padahal kondisi di lapangan, masih terdapat 593.147 atau 27,39% komuter Bodetabek yang menghabiskan waktu lebih dari 90 menit.

Walau sedikit terlambat, pemerintah mulai mendorong penyediaan transportasi publik di Jabodetabek mulai dari Commuter Line, Trans Jakarta, MRT, LRT yang akan segera beroperasi hingga angkot yang terhubung dengan JakLingko. Integrasi transportasi publik juga semakin didorong untuk memudahkan mobilitas warga, misalnya di Dukuh Atas dan Stasiun Cawang.

Integrasi Transportasi Publik di Jakarta Yang Baru Saja Dimulai, sumber: FDTJ

Namun sekali lagi, niat baik pemerintah untuk mengembangkan transportasi publik masih jauh dari kata cukup terutama bagi komuter yang berasal dari Bodetabek. Misal saja Kota Depok, kota dengan asal terbanyak komuter ke Jakarta, pilihan transportasi publik ke Jakarta hanya Commuter Line, Trans Jakarta, LRT dan MRT yang hanya mencover sebagian wilayah Depok.

Keberadaan Transportasi Publik di Kota Depok

Wilayah Cinere dan Cimanggis yang berbatasan langsung dengan Jakarta memiliki akses yang cukup baik ke transportasi publik. Wilayah Cinere dapat menggunakan MRT Fatmawati yang dapat mengantar ke pusat bisnis Jakarta, sementara itu wilayah Cimanggis terhubung dengan LRT Harjamukti dan Halte Busway Cibubur Junction. Begitu pula wilayah tengah Depok sepanjang Jalan Margonda memiliki akses yang lebih baik yaitu stasiun Commuter Line UI, Pondok Cina, Depok Baru, Depok dan Citayam serta Trans Jabodetabek di UI dan Terminal Depok.

Bagaimana dengan Depok bagian barat dan Depok bagian timur? Akses utamanya hanya tol. Misalnya orang yang tinggal di Sawangan Depok akses ke transportasi publik terdekat yaitu 9 km untuk mencapai Stasiun Depok Baru. Atau bahkan mereka yang tinggal di Bojongsari, kecamatan paling barat Kota Depok harus menempuh jarak 13 km untuk mencapai Stasiun Depok. Maka wajar saja kalau kendaraan pribadi baik mobil maupun motor akan memenuhi jalanan Depok di pagi dan sore hari.

Ini baru bicara akses, belum bicara kapasitas. Mari kita cek lebih jauh. Berdasarkan jadwal keberangkatan Commuter Line dari Depok ke Jakarta dari pukul 04.30 hingga pukul 09.00 terdapat 50 perjalanan kereta. Berdasarkan keterangan Commuter Line rata-rata setiap kereta terdapat 12 gerbong dengan kapasitas maksimal per gerbong 250 orang. Apabila dikalikan dengan total perjalanan maka kapasitas kereta Depok-Jakarta dari pukul 04.30 s.d 09.00 hanya 150 ribu atau 51% dari total komuter Depok yang berjumlah 296 ribu. Demand Commuter Line ini belum memperhitungkan penumpang dari Kota Bogor dan Kabupaten Bogor yang juga melewati relasi Depok-Jakarta. Dengan demikian penambahan kapasitas kereta terutama relasi Bogor-Jakarta sudah menjadi hal mutlak bagi PT. Kereta Commuter Indonesia untuk dapat menampung penumpang dari arah Bogor dan Depok.

Suasana KRL di Jam Berangkat dan Pulang Kerja, Photo by William Manuel Son on Unsplash

Berbagai pembatasan kendaraan pribadi seperti ganjil genap rasanya belum mampu untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Karena akar masalahnya adalah ketersediaan transportasi publik yang terbatas. Pemerintah baik pusat maupun daerah harus segera berbenah untuk segera membangun transportasi publik terintegrasi se-Jabodetabek, ya se-Jabodetabek bukan hanya se-Jakarta. Alokasi anggaran harus difokuskan untuk pembangunan transportasi publik, bukan justru untuk memberi subsidi kendaraan pribadi yang akan menambah volume kendaraan. Pembangunan rute transportasi publik juga harus melihat demand yang ada, LRT Velodrome misalnya yang justru lebih bermanfaat untuk mengurai kemacetan di kawasan Kasablanka.

Sekali lagi, kunci utama kemacetan Jabodetabek adalah transportasi publik yang terintegrasi. Semua wilayah di Jabodetabek juga harus memiliki akses ke transportasi publik. Baru setelah supply transportasi publik memadai, pembatasan kendaraan pribadi melalui ganjil genap, Electronic Road Pricing (ERP) atau bahkan kenaikan pajak dan tarif parkir di Jakarta akan efektif memaksa masyarakat menggunakan transportasi publik. Konsep dan strategi ini telah berjalan dengan baik di Singapura.

Saat ini pembangunan transportasi publik memang sedang digalakan, seperti MRT fase 2 dan rencana fase-fase selanjutnya. Tapi bukankah sebaiknya transportasi publik ini dibangun 10, 20 tahun atau bahkan 30 tahun yang lalu?

“Di Jakarta, itu terlambat 30 tahun kira-kira. Baru sekarang sudah ada MRT, tetapi baru 1 jalur saja. Ada LRT Jabodebek tetapi belum jalan. Oleh karena itu, bapak ibu, kalau di Jakarta, pagi hingga sore macet sekarang ini karena keterlambatan membangun itu.” Presiden Joko Widodo, 29 Maret 2023

Selamat berpuasa dan menyambut Senin pagi yang macetnya selalu bikin istighfar.

Salam dari (yang sebentar lagi menjadi) komuter Depok-Jakarta Selatan.

Jakarta, 2 April 2023

*disclaimer: ulisan merupakan pendapat pribadi dan tidak berafiliasi dengan institusi manapun.

Referensi:

https://images.kontan.co.id/photo_story/1374/Jumlah+Penumpang+KRL+Jabodetabek+Tembus+11+Juta+Orang+di+Awal+2023#:~:text=PT%20KAI%20Commuter%20memaparkan%2C%20per,rata%2Drata%20sebanyak%20617.431%20orang.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20191121/98/1172892/wow-penumpang-krl-commuter-line-tembus-900.000-orang-per-hari#:~:text=Bisnis.com%2C%20DEPOK%20%2D%20PT,mencapai%20278%2C7%20juta%20orang.

https://www.bps.go.id/publication/download.html?nrbvfeve=ZWFiODdkMTRkOTk0NTlmNDAxNmJiMDU3&xzmn=aHR0cHM6Ly93d3cuYnBzLmdvLmlkL3B1YmxpY2F0aW9uLzIwMTkvMTIvMDQvZWFiODdkMTRkOTk0NTlmNDAxNmJiMDU3L3N0YXRpc3Rpay1rb211dGVyLWphYm9kZXRhYmVrLTIwMTkuaHRtbA%3D%3D&twoadfnoarfeauf=MjAyMy0wNC0wMSAwOTozMDozNg%3D%3D

--

--